Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Latar Belakang Budaya Tetaken Gunung Limo Pacitan

upacara tetaken gunung limo pacitan

LATAR BELAKANG:
Teteki adalah nama lain dari bertapa, sedangkan konstelasi ritual tersebut secara lengkap biasa disebut Tetaken. Di lereng Gunung Limo pada tanggal 15 Syuro terdapat tradisi ritual rutin tiap tahun yang disebut Tetaken. Tetaken dikenal sejak dahulu sebagai upacara adat yang digelar oleh masyarakat yang berada di lereng Gunung Limo Desa Mantren Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Di kemudian hari Desa Mantren dikenal sebagai kampung Teteki.

Ritual Tetaken merupakan upacara “bersih desa” yang kini dijadikan agenda tahunan wisata budaya di daerah ini.Digambarkan dalam ritual ini, sang juru kunci Gunung Lima turun gunung. Bersama para cantriknya yang sekaligus murid-muridnya. Mereka baru selesai menjalani tapa di puncak gunung dan akan kembali ke tengah masyarakat. Sebagai acara pembuka rangkaian acara berikutnya. Sebab tak lama setelah itu, iring-iringan besar warga muncul menyambut para pertapa, memasuki areal upacara. Mereka mengenakan pakaian adat Jawa. Barisan paling depan adalah para jawara dan pendekar tempatan mengawal para paraga pembawa panji dan pusaka Tunggul Wulung (Panji Tunggul Wulung, Keris Hanacaraka, Tombak Kyai Slamet, dan Kotang Ontokusumo/Jubah Hitam pertapa).

Kampung Jawara
Sebelum ritual dilaksanakan, para jawara menampilkan kebolehannya dalam bermain silat dan kanuragan. Sesepuh Mantren mengisyaratkan kepada para jawara untuk memperebutkan sorban hitam Tunggul Wulung. Barang siapa berhasil mempertahankan sorban itu melekat di kepalanya maka akan memperoleh pengakuan sebagai pendekar Gunung Limo. Jawara ini adalah para pemuda tangguh yang maju sebagai wakil dusun tempatan maupun tamu dari luar desa. Boleh atas nama perorangan maupun ditunjuk oleh sesepuh. Dengan syarat telah matang budi pekertinya, rendah hati dan patuh pada aturan gelanggang silat.

Bagaimana tradisi tetaken ini bermula?
Alkisah, Tunggul Wulung adalah sosok seorang sakti mandraguna. Bersama Mbah Brayut, ia mengembara. Tujuan, melakukan pengabdian: menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa atas perintah Mataram setelah bertapa di Gunung Lawu. Namun, dalam perjalanan selanjutnya kakak-beradik ini berpisah. Mbah Brayut memilih tinggal di Sidomulyo, sementara Kiai Tunggul Wulung memilih lokasi yang sepi di puncak Gunung Lima.

Dikisahkan pula, Kyai Tunggul Wulung adalah orang pertama yang melakukan babat alas di kawasan Gunung Lima. Kelak, bekas hutan yang dibabat itu disebut Desa Mantren. Mantren dari kata “mantri” atau punggawa kerajaan. Diyakini bahwa Kyai Tunggul Wulung adalah seorang pejabat keraton yang ditugasi amanah membabat alas, menjaga kelestarian Gunung Limo dan mendidik masyarakat sekitar.

Tiba di tengah lokasi prosesi, secara bergilir para pembawa legen menuangkan isi bumbungnya ke dalam sebuah gentong. Air legen itu diyakini bertuah. Tak hanya buat kesehatan. Penuangan legen ini adalah salah simbolisasi masyarakat lereng gunung yang sehari-hari mencari nira untuk membuat gula kelapa.

Ujian Teteki
Setelah semua penunjang ritual lengkap, acara inti pun segera dimulai. Sebagai tanda paripurna pendadaran teteki, ikat kepala para murid itu dilepas. Murid-murid itu satu persatu diberi minum air legen yang sudah diisi mantra dan doa selamat. Kemudian, secara bergilir, mereka menghadapi tes fisik dan mental. Hal ini menyiratkan kisah Kyai Tunggul Wulung adalah seorang guru winasis, memberikan ilmu lahir dan ilmu batin kepada para cantrik. Kelak dipergunakan untuk mengabdi kepada masyarakat, bangsa dan negara.
Tes penguasaan ilmu bela diri, senjata tajam ada pula cantrik yang harus menerima cambukan berkali-kali. Prosesi ini menyiratkan makna bahwa tantangan bagi pembawa ajaran kebajikan tidaklah ringan. Bahkan, murid-murid itu harus menghadapi ujian dan rintangan yang berat. Namun semua akhirnya dapat diatasi. Puncaknya, keteguhan hati mampu melewati segala rintangan. Sebagai catatan,bahwa setiap tahunnya ujian bagi para cantrik ini tidak selalu sama, tergantung dari kebijaksanaan para sesepuh Gunung Limo.

Tirtarasa Darma
Bumbung berisi nira segar dituang dalam gentong besar diaduk dengan ramuan Talijiwa di didihkan diatas tungku perapian. Nira yang menyehatkan telah diujupi dan dikunci dengan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa disebut sebagai Tirtarasa Darma merupakan bagian yang dinanti-nanti oleh para pengunjung untuk diminum. Para paraga legen memberikan sambutan simpati kepada para tamu membagikan secara tertib. Bagi orang yang sakit bisa menjadi obat. Bagi orang yang punya kedudukan, tuah legen konon bisa melanggengkannya.

Langen Beksan
Sebagai ungkapan kegembiraan masyarakat di akhir acara, semua warga ramai-ramai menari bersama Langen Bekso. Berpasang-pasangan tua muda. Laki-laki dan perempuan larut dalam kegembiraan. Gending-gending Jawa mengiringi setiap gerak langkah mereka.
Kegembiraan bertambah. Sebab hasil panen di bumi Desa Mantren tahun ini melimpah, rakyat aman damai dan sentausa.

Source:Nur Ichwan

Post a Comment for "Latar Belakang Budaya Tetaken Gunung Limo Pacitan"